I'm Asep Rudi Casmana: Kegagalan membawa berkah

WILUJEUNG SUMPING DINA SERATAN KANG ASEP


Sabtu, 23 April 2016

Kegagalan membawa berkah

Oleh Asep Rudi Casmana

Episode 4
Jalan terjal menuju beasiswa LPDP

Sebelumnya saya mohon maaf untuk para pembaca blog Kang Asep. Saya sudah bertekad untuk menyelesaikan tulisan ini hingga saya mendapatkan beasiswa. Oleh sebab itu saya kembali muncul untuk menulis dan memperbaharui blog ini. Beberapa minggu kebelakang saya tidak aktif pada dunia blogger karena sedang sibuk mempersiapkan acara persiapan keberangkatan (PK) Penerima beasiswa LPDP yang merupakan sebuah kewajiban. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah selesai, sehingga saya dapat kembali aktif menulis dan mengisi blog ini hingga ceritanya habis.

Pada episode kali ini, saya ingin bercerita mengenai kegagalan saya yang berulang-ulang tanpa henti-hentinya. Ya, memang begitulah kehidupan saya. Penuh dengan kegagalan, mungkin kebanyakan orang melihat saya dari segi keberhasilannya saja, namun mereka tidak tahu bagaimana saya berjuang keras untuk membangkitkan semangat supaya tetap berlanjut hingga akhirnya sukses.

Baiklah, sedikit flash back ke belakang. Semenjak saya lulus SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi, saya sudah terbiasa dengan kegagalan. Saya ditolak oleh tujuh perguruan tinggi, diantaranya adalah ITB (gagal PMBP ITB 2010), UPI (Gagal PMDK, UM, SNMPTN), UNPAD (gagal SMUP), STIS Jakarta, IPB, IPDN (gagal di tes kesehatan yang katanya saya punya penyakit jantung, setelah check up ke rumah sakit yang lain, saya normal), dan akhirnya jurusan Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan UNJ mau menerima saya. Dari kegagalan ini, saya selalu berfikir positif dan selalu yakin bahwa Allah memiliki rencana yang terbaik untuk saya. Saya juga sangat yakin bahwa Allah akan mempersiapkan sesuatu yang lebih indah yang tidak pernah terfikirkan sebelumnya. Itulah modal utama saya.

”rasa percaya diri yang kuat bahwa kita BISA, akan membawa kepada sebuah sikap yang mengarah kepada kesuksesan”

Kembali kepada kegagalan ujian bahasa Inggris. Jadi setelah saya melalui proses selama satu tahun di pare, kurang lebih saya sudah mengalami enam kali gagal dalam ujian bahasa yaitu tiga kali ujian TOEFL dan tiga kali ujian IELTS. Saya sangat terkejut ketika mengikuti ujian TOEFL pertama kali pada tahun 2014, pada waktu itu saya sudah mengunggah semua berkas pendaftaran beasiswa ke website LPDP (Ijazah, traskrip akademik, KTP, dan yang lainnya) hanya tinggal satu lagi sertifikat TOEFL yang belum. Namun apa boleh buat, Allah berkata lain. Nilai ujian bahasa inggris pertama saya hanya 357. How could it be? Nilai yang sangat rendah, untuk mendaftar beasiswa LPDP Afirmasi saja tidak cukup.

Meskipun demikian, saya tidak tinggal menyerah, saya terus berusaha untuk berjuang dan belajar. Pada ujian berikutnya, nilainya meningkat menjadi 463, kemudian meningkat lagi menjadi 473. Itu posisinya setelah saya belajar selama tujuh bulan di pare. Namun apa boleh buat, saya akhirnya sudah pusing sama TOEFL, saya putuskan untuk pindah ke IELTS.
Bismillah
Ini merupakan sebuah pengalaman bagi saya dan teman-teman yang sedang belajar bahasa inggris, khususnya bagi mereka yang mau mendaftar beasiswa luar negeri. Apakah saya perlu belajar TOEFL dulu baru IELTS? Ataukah langsung IELTS saja? Dulu saya berfikir untuk belajar TOEFL dulu hingga nilai saya menjadi 550, kemudian daftar beasiswa dan setelah itu baru ke IELTS. Namun ternyata untuk dapat nilai 500 saja bagi saya sebagai seorang pemula sangat susah, apalagi 550. Saya menyimpulkan bahwa bagi mereka yang ingin berniat untuk studi ke luar negeri, langsung belajar IELTS saja. Memang membutuhkan waktu yang lama, apalagi untuk pemula, namun hal itu akan mempermudah kita di akhir, apalagi kalau sudah mecapai target 6,5. Seperti yang saya rasakan, setelah 6,5 segalanya menjadi mudah.

Well, setelah saya hijrah ke IELTS, ternyata IELTS tidak semudah yang dibayangkan juga. Saya terus belajar bahasa inggris di pare tanpa henti-hentinya. Saya mencoba untuk ujian IELTS pertama pada tanggal 28 Maret di British Council Jakarta. Meskipun saya sudah merasa percaya diri, namun ternyata Allah belum juga menghendaki saya untuk berhasil. Nilainya hanya overall 5.0 dengan semua band-nya juga 5.0. Bagaimana tidak pusing, uang sudah hangus sebesar 250 USD atau sekitar Rp. 2.400.000 untuk test pertama. Namun apa boleh buat? Impian saya sudah sangat bulat untuk studi di luar negeri, saya tidak mau kalah hanya karena kegagalan pertama. Saya bukan tipe orang yang sekali gagal, lalu berhenti. Ibu saya selalu mengatakan bahwa wajar saja kalau gagal pada saat pertama, karena itu adalah masanya penetrasi dengan IELTS. Beruntung saya mendapatkan dukungan penuh dari ayah dan Ibu, sehingga mereka selalu menguatkan hati yang sedih ini untuk terus berjuang.

Setelah gagal, saya kembali ke pare dan dipertemukan dengan institusi English Studio dan dua orang kawan seperjalanan. Saya selalu percaya diri kalau sebenarnya saya bisa mencapai nilai 6.5. Dalam hati, saya selalu mengatakan bahwa “ah, 6.5 doang mah mudah. Ini mah masalah waktu saja, saya yakin kalau saya bisa”. Itulah yang selama ini yang ada dalam pikiran saya. Akhirnya, pada bulan September 2015 saya kembali mencoba ujian IELTS yang kedua bersama empat orang sahabat saya. Namun lagi-lagi belum berhasil. Nilai saya 6.0 dengan speaking 6.5, writing 6.5, reading 6.0 dan listening 5.5. Padahal kalau listening saya 6.0, saya dapat mencapai nilai 6.5. lagi-lagi saya tetap berfikir positif bahwa Allah belum mengizinkan.

Ketika saya gagal dalam bahasa, saya selalu berasumsi bahwa kehidupan di Inggris sangatlah keras, kalau IELTS saja yang sangat mudah tidak bisa, bagaimana kita mendengarkan dosen kuliah? Bagaimana cara kita presentasi di depan kelas? Bagaimana cara saya mengerjakan soal-soal dan membuat jurnal? Oleh sebab itu, supaya saya merasa percaya diri di Inggris, saya harus terus berjuang dan berjuang.

Akhirnya saya memutuskan untuk belajar sendiri di kosan selama empat bulan. Karena masalah saya pada listening, akhirnya saya tidak pernah melepaskan headset setiap harinya. Saya sumpelin telinga ini mulai setelah subuh, hingga jam 10 malam. Saya nonton film, dengerin podcast, radio BBC atau apapun itu yang bahasa inggris. Begitulah saya selama empat bulan terakhir. Finally, pada saat ujian bulan januari 2016, nilai saya meningkat menjadi 6.5. Ini merupakan standar minimal yang dibutuhkan oleh LPDP dan beberapa perguruan tinggi di dunia.

Setelah saya mendapatkan nilai 6.5, saya langsung diterima di beberapa perguruan tinggi top 100 di dunia, diantaranya The University of Glasgow, The University of Bristol, The University of York, University College London, The Australian National University, The University of Adelaide dan Monash University. Saya bisa membuktikan bahwa dulu saya ditolak oleh tujuh kampus terbaik di Indonesia, namun saat ini saya bisa diterima di 7 kampus terbaik di dunia. Meskipun demikian, saya memutuskan untuk masuk ke The University of York, United Kingdom. Karena hanya kampus ini yang menyediakan program MA in Global and International Citizenship Education. Saya kembali kepada keguruan, yaitu guru Pendidikan Kewarganegaraan.
Alhamdulillah saya sudah mendapatkan kunci itu
Dari perjalanan saya selama 14 bulan dan berkecimpung dengan kegagalan ini, ada banyak hal positif yang dapat diambil. Bagi saya, anugerah terindah dalam sebuah kehidupan ini adalah memiliki banyak kawan dan sahabat. Kalau saya tidak gagal, saya tidak tingal lama di pare, dan saya juga tidak akan mendapatkan sahabat-sahata terbaik. Saya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan salah satu kawan sekelas alumni Universitas Sriwijaya Palembang. Sosoknya yang rendah hati selalu memberikan nasehat bagaimana cara mengahadapi hidup dan mengatur emosi. Satu hal yang sampai saat ini saya tidak pernah lupa adalah niat. Setelah saya memperbaiki niat atas nasehat dari dia, kini saya menjadi lebih berhati-hati dalam memulai sesuatu. Berikutnya teman yang sangat luar biasa, dia adalah seseorang yang berasal dari Kota Padang. Karena telalalu banyak kebaikannya dia, sehingga saya tidak dapat menyebutkan. Tanpa dia sadari, saya banyak belajar dari perilakunya terutama bagaimana hidup menjadi lebih dewasa. Mereka berdua adalah kawan sekelas saya ketika saya belajar di English Studio. Mereka berdua adalah orang yang terus mendukung dan memberikan semangat ketika saya gagal ujian IELTS.

“dari kegagalan, saya dapat memetik banyak berkah”
Asep Rudi Casmana

Muka bahagia setelah ujian IELTS di IALF Surabaya

3 komentar:

  1. Menginspirasi sekali kak Asep, luar biasa.

    BalasHapus
  2. Terimakasih banyak kak ceritanya, saya jadi semangat lagi, hehe. Saya mohon doanya juga yaa, supaya saya bisa nyusul kuliah di luar negeri juga.. makasih kak, salam semangat :)

    BalasHapus